Powered by Blogger.

Friday, July 1

Hakikat Cinta dan Pernikahan dalam Islam

Do you want to share?

Do you like this story?

YOUR GOOGLE ADSENSE CODE HERE (300x250)
YOUR GOOGLE ADSENSE CODE HERE (300x250)
Cinta mengandung energi yang sangat besar, energi yang sangat luar biasa. Itulah kenapa seorang ibu rela berkorban sekalipun nyawanya demi sang anak. Seorang suami dapat tak hiraukan lelah dan peluh yang bercucuran demi anak istrinya. Para sahabat rela berkorban demi Allah dan Rasul-Nya, Muhammad SAW. Dan Romeo yang rela mati demi Juliet kekasihnya (sebenarnya ini adalah perbuatan bodoh atas nama cinta).

Energi cinta yang besar mempunyai kekuatan untuk mendorong seseorang melakukan sesuatu diluar akal sehatnya. Dan memberi kekuatan besar bagi seseorang untuk melakukan Sesuatu yang ia cintai.

Namun sayang, seringkali kekuatan energi cinta yang begitu besar menguap begitu saja tanpa ada sinergi dengan hal positif. Hal ini banyak terjadi dikalangan kawula muda kita, sahabat-sahabat kita, dan saudara-sadara kita. Atau mungkin justru kita sendiri. Cinta yang mereka usung selalu semu dan fana. Terbukti dengan kekecewaan, dan kesedihan yang diderita pada akhirnya secara sia-sia.

Sudah menjadi fitrah cinta yang timbul antara pria dan wanita yang bukan mahram. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam Al Quranul Karim. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Q.S Ar Rum [30] : 21).

Cinta walaupun mempunyai energi yang luar biasa namun ia juga rapuh. Islam mensyariatkan pernikahan untuk untuk melindunginya dari kemadharatan yang ada padanya. Dengan akad pernikahan, Islam menghalalkan segala macam bentuk ekspresi cinta dari pasangan suami istri. Bahkan setiap ekspresi dari cinta tersebut bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Pengorbanan atas nama cinta tidak lagi menjadi sia-sia. Akan tetapi bernilai sangat istimewa.

Rasa letih, lelah sang kepala keluarga untuk anak istri menjadi ibadah. Kesabaran istri dalam taat kepada suami, melayaninya dan mengasuh serta mendidik anak-anaknya menjadi ibadah. Dari hal terkecil sampai dengan hal yang paling besar terhitung ibadah.

Kerapuhan cinta bisa membuat dua insan berpisah. Dalam syariat pernikahan Islam. Islam menjaga hak setiap pihak, sehingga tidak ada yang dirugikan. Ketika terjadi perpisahan atau perceraian hak dan kewajiban dari kedua belah pihak telah diatur dengan sempurna. Dari mulai yang terkait dengan diri sendiri secara langsung. Seperti mut-ah (pemberian kepada istri ketika dicerai), dan aturan untuk rujuk. Maupun yang terkait dengan pihak lain, seperti pembagian waris dan aturan menikah kembali dengan pasangan yang berbeda.

Tidak ada isitilah pihak yang dirugikan disini. Pihak yang lepas dari tanggung jawabnya seperti menelantarkan anak dan istrinya. Ia akan diperhitungkan baik di sisi manusia maupun di sisi Allah SWT. Keributan akibat harta gono-gini antara pasangan pun tidak akan terjadi. Karena telah diatur dalam pembagian waris dan penentuan kepemilikan harta.

Dengan demikian energi cinta yang besar tidak akan sia-sia serta tidak membahayakan. Rapuhnya pun tidak akan merugikan satu pihak, apalagi menderita sia-sia. Seperti pasangan yang ditinggal kekasihnya dan ia dalam keadaan mengandung, misalnya. Dari sini kita juga dapat mengatakan, penghargaan tertinggi untuk wanita atas nama cinta adalah pernikahan secara Islam. Wallahu a’lam bish-shawab.


Oleh : Agustiar Nur Akbar, adalah mahasiswa Indonesia yang kini tengah menimba ilmu di Kairo, Mesir.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/05/27/lluu6v-hakikat-cinta-dan-pernikahan-dalam-islam
Diposkan oleh hilman di 23:16 0 komentar
Hakikat Takut kepada Allah
Kalau dinasihati untuk jangan melakukan kejahatan, karena semua perbuatan dicatat malaikat, tetap saja kejahatan demi kejahatan dilakukan. Akan tetapi kalau ada tanda peringatan bahwa kamera CCTV memantau Anda, barulah takut untuk berbuat salah.

Masih banyaknya manusia yang melakukan kejahatan dan kemaksiatan adalah disebabkan oleh tingkatan imannya yang masih rendah dan belum mencapai kepada tahap keyakinan total kepada perkara-perkara yang gaib. Seseorang lebih takut kepada CCTV yang memantaunya secara temporer dan kondisional daripada takut kepada malaikat pencatat amal yang memantaunya setiap saat, tanpa batas waktu, dan tempat; malaikat.

Orang lebih menjaga dari perilaku kejahatan atau perbuatan dosa yang apabila diketahui oleh publik akan menimbulkan efek yang tidak menguntungkan bagi pelakunya. Seseorang akan merasa lebih takut apabila dosa dan kejahatannya itu diketahui oleh orang lain, daripada takut diketahui oleh Allah.

Namun, adanya rasa malu pada jiwa seseorang disebabkan perbuatan dosanya diketahui oleh orang lain masih lebih baik daripada melakukan dosa atau kejahatan secara terang-terangan, tanpa rasa malu. Karena perasaan malu mengindikasikan adanya keimanan pada diri orang tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis, "Malu itu adalah cabang daripada iman." (HR Bukhari).

Hakikatnya, iman yang kuat akan mendorong seseorang untuk lebih bertaqwa atau takut kepada Allah, sehingga segala godaan untuk melakukan laranganNya dan godaan untuk meninggalkan perintahNya dapat dikalahkan. Sebaliknya iman yang lemah akan menjadikan seseorang lebih liar, dan bahkan rasa takutnya kepada Allah dapat dilumpuhkan oleh selainNya, sehingga segala rayuan Syaitan yang datang kepadanya tidak dapat dihindarkan. Perintah agama diabaikan sedangkan larangannya dikerjakan.

Semua kenyataan ini kembali kepada kata kunci atau muaranya, yaitu kualitas iman dan takwa kepada Allah SWT.

Orang-orang yang takut kepada Allah ialah golongan yang selamat dari keinginan untuk melakukan aksi jahat dan berbuat maksiat. Alquran sudah menegaskan, bahwa orang yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya tidak lain adalah orang-orang yang berilmu. (QSFathir:28)

Diriwayatkan dari Abu Hayyan At-Taimy, bahwa dia berkata, "Orang-orang yang berilmu terdiri dari tiga golongan: Pertama, orang yang mengetahui Allah namun tidak mengenal perintah Allah. Kedua, orang yang mengetahui perintah Allah namun tidak mengenal Allah. Ketiga, orang yang mengetahui Allah dan juga mengetahui perintah Allah." (Kitabul Iman, Imam Ibn Taimiyah).

Sedangkan Imam Ibn Taimiyah menegaskan, "Selagi seseorang melakukan sesuatu, sementara dia juga mengetahui bahwa sesuatu itu mendatangkan mudharat kepadanya, maka orang seperti ini layaknya orang yang tidak berakal. Sebab, ketakutan kepada Allah mengharuskan ilmu tentang Allah, maka ilmu tentang Allah juga mengharuskan ketakutan kepadaNya. Dan takut kepada Allah harus melahirkan ketaatan kepadaNya. Orang-orang yang takut kepada Allah adalah orang-orang yang mengerjakan perintah-perintahNya serta menghindari segala bentuk larangan-Nya." Wallahu'alam bisshowab.

YOU MIGHT ALSO LIKE

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan berkomentar sob demi kemajuan Blog ini, Terima Kasih!!!

Advertisements

YOUR GOOGLE ADSENSE CODE HERE (300x250)

Advertisements

YOUR GOOGLE ADSENSE CODE HERE (300x250)