Powered by Blogger.

Monday, February 20

Dokumen Pemberontakan RMS di Maluku

Do you want to share?

Do you like this story?

YOUR GOOGLE ADSENSE CODE HERE (300x250)
YOUR GOOGLE ADSENSE CODE HERE (300x250)
Bahwa perjuangan kemerdekaan Maluku lewat proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS) itu tidak akan merugikan hak hidup bangsa manapun juga, termasuk pemerintah Belanda dan pemerintah RI… (Ketua Eksekutif “Missi Rakyat Maluku”, D Sahalessy dalam suratnya kepada BJ Habibie dan Jenderal Wiranto).

KUTIPAN pernyataan di atas, merupakan materi surat resmi yang dikirim dari kantor ‘pemerintahan pengasingan RMS’ di De Klenckestraat 42, 9404 KW Assen-The Netherlands (telp 31592 352141), tertanggal 15 November 1998. Tembusan surat tersebut dikirimkan pula kepada Komnas HAM di Jakarta, Kementerian Luar Negeri Belanda di Den Haag, EIR-International di New York dan sejumlah instansi internasional terkait serta dewan mahasiswa di Indonesia.

Dokumen surat — yang diungkap pula oleh mantan Kastaf Kodam VIII/Trikora Jayapura, Brigjen TNI (Purn) Rustam Kastor — ini, secara jelas dan ‘jantan’ menyatakan keinginannya untuk pisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Misalnya, di awal suratnya, D Sahalessy menulis sbb:…Atas kewajiban kami selaku Ketua Pelaksana Missi Rakyat Maluku dan Pejuang Kemerdekaan yang mendambakan Kemerdekaan dan Kedaulatan Nusa dan Bangsa Maluku, kami hadapkan ‘Surat Pergembalaan’ ini kehadapan Bapak-bapak.

Demi ketergantungan hidup manusia kepada Tanah Airnya dan Masyarakat Adatnya masing-masing, maka Pancasila dan Undang-undang Dasar ’45, antara lain menegaskan bahwa “kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, maka setiap sistem penjajahan haruslah dihapuskan dari atas muka bumi, karena hal itu tidak sesuai dengan keadilan dan prikemanusiaan”. Atas pernyataan ini, kami anjurkan agar Bapak-bapak menggarisbawahi “kekeliruan-kekeliruan” yang dilakukan Pemerintah RI dan ABRI di Maluku di luar sampaipun di tanah air Jawa sejak Juni 1950 hingga detik saat ini.

Yang cukup menarik untuk dicermati, surat yang disampaikan kepada pemerintah RI — setahun sebelum terjadinya aksi pembantaian terhadap umat Islam di Kota Ambon, Idul Fitri, 19 Januari 1999 — itu, juga mengajukan lima tuntutan yang mesti dipenuhi, yakni:

1. Agar tindakan-tindakan eksploitasi dan Jawanisasi di Maluku dan lain-lain kepulauan di luar tanah Jawa dihentikan,
2. Agar tulang-belulang dari putra-putri Maluku yang terbunuh selama invasi militer RI di Maluku (1950-1967) itu dapat dikumpulkan untuk dimakamkan dalam suatu Taman Makam Pahlawan,
3. Agar tulang-belulang dari Mr. Doktor Christian Soumokil (Bapak Kebangsaan dan Pahlawan Keadilan Maluku) yang dibunuh secara rahasia oleh ABRI di pengasingan pada tanggal 12 April 1966 itu dapatlah dikumpulkan untuk dimakamkan di Maluku Tanah Air kami,
4. Agar semua usaha menuntut kemerdekaan Maluku lewat konstitusi Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku janganlah ditindas atau dapatlah dibantu oleh ABRI,
5. Agar tindakan-tindakan polarisasi yang dilakukan lewat intelek Maluku golongan aparatip yang memfrustasikan perjuangan kemerdekaan Maluku di dalam maupun di luar negeri itu, dihentikan.

Selain surat tersebut, bukti-bukti awal yang menunjukkan terjadinya pemberontakan RMS di Ambon-Maluku, juga dapat diketahui dari dokumen ‘bocoran’-nya — faksi lain di RMS — yang menamakan dirinya sebagai “Presidium Sementara RMS Ambon.”

Pada tangal 14 November 1998, presidium tersebut mengeluarkan “Surat Perintah Tugas” No. 01/PS.04.1/XI/98, yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Presidium, masing-masing bernama O. Patarima, SH dan Drs. Ch. Patasiwa. Isi surat tugas berupa perintah kepada D Pattiwaelappia (jabatan Ketua Komisi Bidang Komunikasi), A Pattiradjawane (Ketua Komisi Bidang Hukum) dan S. Saiya (Staf Komisi Bidang Komunikasi), untuk melaksanakan missi perjuangan RSM.

Kepada ketiga orang tersebut, diberi tugas dan wewenang sbb:

1. Melakukan upaya-upaya diplomasi dan pendekatan dengan warga masyarakat Maluku di perantauan dalam rangka konsolidasi kekuatan dan penggalangan persatuan,
2. Mengadakan koordinasi dengan tokoh-tokoh intelektual tertentu di kota atau daerah tujuan untuk membentuk perwakilan presidium atau pun organisasi perjuangan yang memungkinkan sesuai dengan kondisi setempat,
3. Berusaha menghimpun dana secara sukarela dari warga setempat untuk mendukung kebutuhan pembiayaan program perjuangan,
4. Melaporkan hasil pekerjaan secara berkala guna keperluan pengendalian dan evaluasi.

Surat tugas juga menyebutkan daerah tujuan yakni Jakarta, Surabaya, dan kota-kota tertentu di Pulau Jawa. Juga, ditentukan soal keberangkatannya yakni mulai 16 November s.d. media Desember 1998.

Bersamaan dengan keluarnya surat tugas, Presidium Sementara RMS di Ambon membuat pula surat pengantar bernomer 02/PS.05.1/XI/98, perihal “Permohonan Bantuan”, dilengkapi lampiran sebanyak sepuluh daftar. Isi surat diawali dengan kalimat antara lain:Pertama-tama, terimalah salam kebangsaan dan pekik perjuangan kita “Mena Moeria”.

Selanjutnya, ditulis:

Kami merasa mendapat kehormatan untuk menjumpai Bapak, Ibu dan semua saudara segandong yang sementara ini berada di Tanah Perantauan, untuk menyampaikan perkembangan terakhir yang sedang terjadi di kalangan rakyat dan masyarakat Maluku dewasa ini.

Secara singkat boleh kami katakan bahwa tingkat kesabaran dan daya tahan rakyat dalam menghadapi kondisi perekonomian maupun situasi politik yang dikendalikan dari Pusat (Jakarta), sudah berada pada titik yang sangat rawan. Bahwa demi untuk mencegah terjadinya tindakan lepas kontrol yang dapat membahayakan diri, keluarga maupun masyarakat banyak, kami terpaksa telah mengambil tanggungjawab kolektif tadi dan menyusun sebuah program perjuangan sesuai dengan kemampuan kami yang sangat terbatas.

Dalam rangka itulah kami sungguh memerlukan support, baik moral maupun material terutama dari Bapak/Ibu yang memiliki kelebihan berkat Tuhan. Demikian dengan susah payah kami telah mengutus tiga orang teman ini, sambil mengharapkan uluran tangan Bapak/Ibu semua. Kami percaya bahwa semua saudara segandong di rantau tidak akan sampai hati membiarkan kami berjalan sendirian sebab ‘potong di kuku rasa di daging’. Semoga Tuhan tetap menjaga dan memelihara kita semua dengan kelimpahan berkat Sorgawi. Amatooo…

DARI Ambon, Presidium Sementara Republik Maluku Selatan (RMS) — pada 14 November 1998 — mengeluarkan ‘Seruan’ yang ditujukan kepada warga Maluku di Belanda.

Seruan yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekjen Presidium Sementara RMS, masing-masing O Patarima, SH dan Drs. Ch. Patasiwa itu, diawali dengan kalimat:

“Kepada Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, putra-putri Maluku yang sementara berdiam di negeri Belanda.”

1. Terimalah salam kebangsaan dan pekik perjuangan kita “Mena Moeria”,
2. Dengarlah seruan kami dari jauh, dari Maluku, Tanah Tumpah Darah Kita:
* Saat ini, rakyat Maluku di Tanah Air sudah tidak sabar lagi untuk merdeka,
* Kebencian rakyat terhadap Pemerintah Indonesia sudah mencapai puncaknya,
* Untuk sementara, kami harus mengambil tanggungjawab memimpin dan mengarahkan perjuangan di Tanah Air agar supaya tidak berjalan sendiri-sendiri, yang nanti bisa menyusahkan banyak orang,
* Kami sangat mengharapkan dukungan dan bantuan saudara-saudara dari negeri Belanda dalam menyokong perjuangan ini agar kiranya dapat berjalan lancar dan sukses dalam waktu yang tidak terlalu lama,
* Sesungguhnya perjuangan ini adalah tanggungjawab setiap anak Maluku, di mana pun berada. Karena itu, janganlah biarkan kami sendiri,
* Kami percaya bahwa nasib masa depan anak cucu kita ada di Tanah Air Maluku tercinta.

Pada akhir “Seruan”, ditulisnya kalimat sbb:

“Biar Hujan Emas di Negeri Orang, Tidak Sama Hujan Batu di Negeri Sendiri.” Semoga Tuhan senantiasa melimpahkan berkat dan perlindungan kepada kita, sampai bertemu nanti di Tanah Air.

Bukti-bukti awal yang mengarah pada kesimpulan terjadinya gerakan pemberontakan RMS pada akhir tahun 1998, juga ditemui oleh pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag. Dalam laporan khususnya yang disampaikan oleh Kantor Atase Pertahanan (Athan) KBRI Den Haag tertanggal 18 Desember 1998 — ditandatangani Athan KBRI, Kol. Laut (E) Ir. Wahyudi Widajanto, MSc — diungkapkan antara lain: Adanya informasi ihwal mulai tumbuhnya “embrio” kelompok RMS di Indonesia, khususnya di Jakarta.

Selain itu, juga diungkap: Berita yang dimuat oleh Harian Belanda “Rotterdam Dagbland” (Selasa, 11 Januari 2000) yang intinya menyebutkan bahwa Pemerintah RMS di pengasingan mempersiapkan diri untuk mengambil alih kekuasaan di daerah Maluku Selatan. Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden RMS, F.LJ Tutuhatuwena. Dia mengatakan, bahwa upaya yang ditempuh adalah dengan membentuk suatu struktur organisasi yang dapat mengambil alih kekuasaan dari Jakarta.

Diinformasikan pula bahwa saat ini di Maluku telah berada beberapa puluh penganut dan simpatisan RMS yang diharapkan dapat merealisasikan cita-cita mereka. Skenario yang mereka inginkan adalah pengambilalihan kekuasaan tanpa kekerasan dengan memanfaatkan krisis ekonomi dan politik di dalam negeri saat ini.

Untuk itu, telah dibentuk suatu kabinet bayangan dengan tugas menjaga agar kehidupan masyarakat Maluku terus berjalan normal apabila pemerintah di Jakarta jatuh. Tugas berikutnya adalah melucuti dan membubarkan tentara Indonesia yang masih berada di Maluku.

Hingga kini bantuan dari masyarakat Maluku di Belanda adalah bantuan nasihat dan keuangan, dan belum ada permintaan bantuan senjata dari Maluku. Selanjutnya, pada 19 Desember 1998 yang akan datang di Barneveld, Belanda akan diselenggarakan pertemuan antara RMS dengan Badan Persatuan Maluku sebagai pendukung RMS dengan tujuan untuk membicarakan rencana aktivitas apa yang akan ditempuh selanjutnya.

DALAM kaitannya dengan SK Menkeh RI No. M. 01.iZ.01.02 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Pembebasan Keharusan Memiliki Visa Bagi Wisatawan Asing, pihak Athan KBRI Den Haag menganalisisnya: sebagai sesuatu yang dimanfaatkan oleh kelompok RMS untuk menyusupkan kaki tangannya — yang notabene mereka kemungkinan besar tidak terdaftar sebagai anggota kelompok RMS — ke Indonesia untuk berkunjung. Selanjutnya, mereka itu “menghilang” di tanah air dengan memanfaatkan kelemahan pengawasan kita di tanah air. Orang-orang inilah yang kemungkinan besar merupakan pioner tumbuhnya kembali kelompok RMS di Indonesia.

Athan KBRI Den Haag juga menyimpulkan:

Kelompok RMS secara jelas telah semakin serius, terorganisir serta terencana dalam upaya-upaya mewujudkan cita-citanya dengan memanfaatkan situasi krisis ekonomi dan politik di dalam negeri akhir-akhir ini.

Pergerakan simpatisan dan aktivis RMS di Den Haag ini benar-benar memperoleh perhatian yang optimal dari KBRI Den Haag. Dalam kawat khususnya — bernomer 147/div.12/98 — yang dikirimkan kepada Menlu, Menko Polkam, Mendagri, Menhankam/Pangab dan Menkeh, KBRI Den Haag melaporkan perihal pokok-pokok hasil pertemuan RMS di Barneveld pada 19 Desember 1998.

Disebutkannya:

* pertemuan dihadiri oleh 8 organisasi masyarakat Maluku termasuk ‘badan persatuan’ yang berhaluan keras dan merupakan pendukung utama RMS.
* pertemuan telah membentuk suatu struktur organisasi yang dinamakan ‘Kongres Nasional Maluku’ dengan tujuan utama mendukung dan memiliki tugas politik dan peralihan kekuasaan.
* “Pemerintahan RMS” dalam pengasingan akan memberikan senjata kepada organisasi-organisasi di Maluku yang diharapkan akan ikut serta dalam pengambilalihan kekuasaan apabila Pemerintah Indonesia jatuh.
* Menteri Urusan Umum RMS, J.W Wattilete yang diharapkan akan menggantikan “Presiden RMS” Tutuhatunewa kepada pers mengatakan bahwa perebutan kekuasaan dengan senjata merupakan jalan terakhir kalau dengan cara damai tidak berhasil.
* Kalau kelompok-kelompok di Maluku minta bantuan senjata akan ditanggapi dengan serius.
* Kesempatan semacam ini tidak akan terulang lagi dan harus dimanfaatkan.

SOAL keseriusan para aktivis dan simpatisan RMS mewujudkan cita-citanya, sebenarnya kian jelas dengan terjadinya berbagai peristiwa pancingan yang dilakukan dengan cara mengusir suku Bugis Buton Makassar (BBM) yang sudah hidup puluhan tahun di Ambon dan sekitarnya.

Hal itu terjadi pada medio November 1998 — atau satu bulan sebelum 19 Januari 1999 (Idul Fitri Berdarah) — di Kampung Hative Besar Ambon. Di basis pemberontak RMS itu, ratusan orang Islam yang berlatarbelakang BBM diusir, dibunuh dan seluruh rumahnya dibakar habis.

Di tengah-tengah aksi penyerangan tersebut, umat Islam menemukan sejumlah dokumen pemberontakan RMS. Sayangnya, dokumen diserahkan begitu saja oleh umat Islam kepada aparat keamanan, tanpa sempat terlebih dulu mem-foto-copy.

Demikian halnya, dalam setiap peristiwa pertempuran antara pemberontak RMS dengan masyarakat setempat, di antara mereka kerapkali meneriakkan yel-yel seperti “Hidup RMS”, “Hidup Israel”, “Anda Memasuki Wilayah RMS-Israel”, atau salam kebangsaan RMS yang berbunyi “Mena Moeria Menang”.

Jauh-jauh hari sebelum itu, sebenarnya pihak berwajib di Ambon sudah “mengendus” gerakan pemberontak RMS. Pada tahun 1989, Korem 174/Patimura — yang komandannya waktu itu adalah Kol. Inf. Rustam Kastor — berhasil membongkar jaringan organisasi RMS di Kota Ambon yang mempunyai rencana besar. Antara lain adanya rencana membangun kekuatan bersenjata di Pulau Seram.

Menurut Rustam Kastor, seorang mantan perwira menengah TNI AD, yakni Letkol Inf (Purn) Ony Manuhutu (Jakarta) dilibatkan untuk menuntaskan rencana sekaligus memimpin kekuatan bersenjata di lapangan. Dalam kaitan ini, gudang senjata TNI milik Lantamal di Ambon siap diserbu dan dibongkar untuk diambil senjata serta amunisinya. Untuk itu, sudah disiapkan dukungan dari seorang bintara penjaga gudang amunisi tersebut.

Persiapan pemberontakan juga tampak dari ditemukannya senapan jenis karaben beserta sejumlah amunisi di sebuah gereja tua pada benteng Amsterdam, di Desa Hila Kaitetu. Kepada penulis yang mengunjungi lokasi tersebut (Maret 1999), sejumlah saksi mata mengatakan, penemuan itu sebenarnya tak diduga tatkala terjadi bentrokan antara pemberontak RMS dengan masyarakat setempat.

Usaha penggalanan dana dan senjata untuk pemberontakan RMS, juga diakui oleh Presiden RMS di pengasingan yaitu Dokter Tutuhatunewa (76). Dia mengakui mengucurkan dana perang ke Maluku. Meski tak bersedia menyebut jumlah dana yang disampaikannya ke Ambon-Maluku, tapi dana itu sudah diserahkan kepada kelompok tertentu (Tempo edisi 26 Desember 1999).

Selain itu, Tempo juga menyebutkan pada Agustus 1999 aparat keamanan menemukan uang sejumlah Rp 500 juta dari lima penumpang Kapal Bukit Siguntang yang berlabuh di Pelabuhan Ambon. Uang tersebut dikemas dalam ratusan amplop dengan tertulis nama organisasi “Satu Bantu Satu, Maluku-Netherland”. Menurut keterangan Imam Besar Mesjid Al Fatah Ambon, KH Abdul Aziz Arby, Lc., organisasi tersebut diduga punya hubungan dengan sebuah organisasi di daerah Ciledug, Jakarta.

Sejumlah nara sumber penulis di Ambon dan Maluku Utara menyebutkan, gerakan RMS diduga kuat memperoleh dukungan dari pihak Yahudi Israel. Disebutkannya, dalam internet beberapa waktu lalu, sempat ada situs RMS yang menampilkan artikel terbitan Israel yakni United Israel Bulletin (UIB). Buletin itu mengungkapkan harapan RMS untuk mendapat dukungan dari Israel.

Koresponden UIB di PBB, David Horowits — dalam terbitan musim panas 1997 — menulis: mayoritas pendukung RMS memang dekat dengan Yahudi-Israel. Selama beberapa kali peringatan hari kemerdekaan RMS di Maluku, bendera Israel bersama emblem AS dan Belanda dipadukan dengan emblem RMS.

RMS juga punya hubungan dengan gerakan serupa di Timtim. Buktinya, di situs Djangan Lupa Maluku: www.dlm.org. dapat dijumpai naskah proklamasi RMS yang dibacakan pada tahun 1950 dan ditandatangani JH Manuhutu serta A Wirisal.

Salah satu berita yang menarik yang dirilis UIB — selain tentang persahabatan RMS dan Israel — juga artikel itu mengungkapkan hubungan antara RMS dan pergerakan di Timtim yang dipimpin Jose Ramos Horta. Menurut David Horowits, ketika Horta menerima Nobel, saat itu salah satu menteri RMS, Edwin Matahelumual mengirim surat kepada Horta.

Pada harian De Volkskrant (edisi 12 Januari 2000) dilaporkan di halaman depan, RMS mengumpulkan dana dari orang-orang Maluku di Belanda. Dana itu untuk membeli senjata guna membantu “saudara-saudara Kristen” di Maluku.

Melalui jaringan internasional, tulis harian De Volkskrant, dana yang terkumpul tersebut akan dibelikan senjata yang selanjutnya dikirim ke Maluku Tengah melalui Filipina Selatan.

Harian Brabants Dagblad (edisi 17 Desember 1999) memberitakan pertemuan lima wakil pemerintahan RMS di pengasingan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Mengutip ketua delegasi, Otto Matulessy, harian itu menyatakan, Presiden Abdurrahman Wahid menghendaki partisipasi masyarakat Maluku di Belanda, terutama pemerintah pengasingan RMS, untuk membantu membangun Maluku.

Kita tentunya menjadi ‘bingung’ mengetahui sikap Abdurrahman Wahid yang menerima perwakilan RMS tersebut. Ya, sama ‘bingung’-nya kita dengan tidak adanya pernyataan resmi dari pemerintahan Abdurrahman Wahid-Megawati untuk menyebutkan ihwal terjadinya pemberontakan RMS di Ambon-Maluku. Bukankah fakta-fakta sudah jelas dan bukti-bukti awal sudah ada yang bisa disimpulkan perihal terjadinya suatu pemberontakan RMS?

Sikap pemerintah dalam kasus Ambon-Maluku ini benar-benar “aneh bin ajaib” sekaligus diskriminatif. Ketika terjadi kasus peledakan mesjid Istiqlal dan terungkapnya kasus kelompok AMIN di Bogor, pemerintah begitu mudahnya menyatakan ada gerakan untuk mendirikan negara Islam sekaligus mengganti dasar negara Pancasila. Padahal bukti-buktinya tidak ada.

Sedangkan dalam kasus Ambon-Maluku, pemerintah “diam seribu bahasa”. Bahkan umat Islam yang melakukan penumpasan terhadap para pemberontak RMS, justru disalahkan. Laporan-laporan temuan dokumen pemberontakan RMS — baik yang disampaikan umat Islam maupun aparat keamanan level lapangan — ternyata tidak digubris.

Bahkan opini yang kemudian dilontarkan serta ditumbuhsuburkan ke publik adalah rumor tentang adanya campur tangan “Cendana” beserta kroni-kroninya, oknum TNI/Polri, dan kalangan status quo.

Para pengamat yang semestinya berpikir objektif dan proporsional, ternyata tak jauh berbeda dengan perilaku elit politik. Mereka menyoroti persoalan Ambon-Maluku dari perspektif rumors. Kalaupun ada, sekadar menengoknya dari segi sosiologi, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik seperti rebutan jabatan di struktur pemerintahan.

Para pengamat, boleh jadi, bisa mengungkapkan analisisnya — hingga mulutnya berbusa — namun sebenarnya yang terjadi di lapangan tidaklah semacam itu. Substansi kualitatif analisis dan asumsi pengamat seperti soal kesenjangan sosial ekonomi, itu pada dasarnya hanyalah ‘muatan’ yang menumpangi akar masalah sesungguhnya dalam kasus Ambon-Maluku.

Ya, tak jauh bedanya dengan asumsi kasus pembantaian terhadap umat Islam di Poso, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu. Saat itu bahkan hingga kini, di tengah masyarakat ‘tersebar’ asumsi adanya kesengajaan oknum militer untuk mengacaukan situasi, lalu ketika masyarakatnya mengungsi, maka mereka pun melakukan penjarahan seperti kayu ebonit atau kayu hitam. Padahal kenyataannya — berdasarkan fakta di lapangan — tidaklah demikian. Jika pun ada yang berbuat semacam itu, sekadar oknum dan jumlahnya pun sedikit.

Yang semestinya dilihat oleh para pengamat, elit politik atau pejabat pemerintahan adalah fakta di lapangan — alias di tengah konflik tersebut — yakni adanya ‘benang merah’ pemberontakan RMS, baik di Ambon, Tual (Maluku Tenggara), Maluku Utara, dan Poso.

Adanya rencana dan realisasi sistematis penyebaran “virus pemberontakan RMS”, diakui pula oleh Ketua Forum Komunikasi Kerukunan Antar Umat Beragama Maluku Utara, Abdul Gani, MA.

Dikemukakannya, jauh-jauh hari sebelum terjadinya kasus pembantaian terhadap umat Islam oleh komunitas pemberontak RMS di Tual, Ternate, dan Halmahera (Maluku Utara), sejumlah tokoh Islam di MUI sudah mengingatkan masyarakat setempat karena saat itu, ada beberapa fenomena ‘aneh tapi nyata’ yang berkaitan dengan ‘pemanasan’ situasi di tengah masyarakat yang sebelumnya sudah rukun.

Di Tual (Maluku Tenggara), Halmahera dan Ternate (Maluku Utara), umpamanya, mulai didatangi para pengungsi asal Ambon. Di antara pengungsi itu, ternyata ada sejumlah provokator dari kalangan RMS. Mereka menyebar isu adu domba dan menumbuhsuburkan fitnah kepada umat Islam, yang sebenarnya masih ada hubungan darah seperti yang terjadi di daerah Halmahera (Tobelo, Galela, Kao, Malifut, Ternate, dan sekitarnya). Nyatanya, benar, beberapa saat kemudian terjadilah aksi kerusuhan dan pembantaian terhadap umat Islam.

Sebaliknya, ada fakta yang menunjukkan tidak semua daerah di Ambon bisa terkena “virus pemberontakan RMS”. Ini bisa disaksikan langsung di daerah Wayame — dekat Poka (tempat pembantaian terhadap umat Islam pada Juli 1999) — di lokasi itu hidup rukun umat Islam dan umat Kristen. Hingga kini mereka tetap akrab, tidak saling menyerang. Bila malam hari, mereka sama-sama berjaga-jaga di pos keamanan lingkungan (kamling).

Di tengah malam yang cukup dingin itu, terkadang di pos-pos kamling mereka menyanyikan lagu-lagu pujian agamanya, sedangkan umat Islamnya ‘tenang-tenang’ saja bersenandung shalawat badar atau nasyid islami. Tak ada pertengkaran. Bahkan di daerah itu ada sebuah mesjid dan beberapa gereja, yang masih utuh. Bila hari Jumat atau Minggu tiba, warga setempat pergi ke mesjid dan yang lainnya pergi ke gereja.

Mengapa mereka bisa rukun? Menurut tokoh Islam setempat — yang juga anggota DPRD Maluku — ustadz H Muhammad Kasuba, MA, di Wayame ada sejumlah tokoh Kristen yang dikenal sebagai pendeta. Mereka membuat kesepakatan dan menyatakan tidak mau melakukan pembantaian terhadap umat Islam — yang notabene jumlahnya sangat minim di daerah terebut — karena menyadari kekeliruannya bila mengikuti ajakan para provokator pemberontakan RMS. Meski berkali-kali dibujuk rayu, para tokoh Kristen dan warga Kristen di daerah itu menolak bergabung dengan para pemberontak RMS.

Fakta-fakta — lapangan — yang tak terbantahkan ini, ironisnya dianggap ‘angin lewat’ saja. Bukti-bukti awal yang mengarah pada kesimpulan terjadinya pemberontakan RMS, sama sekali tidak diperhitungkan dan di-cuekin terus-terusan oleh pemerintah.

Hampir semua pejabat pemerintah RI sekarang menderita ‘sariawan’ stadium berat, sehingga tidak bisa membuat pernyataan jujur bahwa di Ambon dan Maluku telah terjadi tindakan subversif atau makar dari sejumlah orang yang ingin mendirikan Republik Maluku Sarani atau Republik Maluku Selatan (RMS).

Sungguh, dunia memang — boleh saja — terbalik, namun kebenaran tidak bisa dibalikkan. Para elit politik boleh berakrobat membalikan akar masalah di Ambon-Maluku, tapi tetap saja ‘masalahnya’ tak akan selesai.

Karenanya, cepat atau lambat, kebenaran terjadinya pemberontakan RMS di Ambon-Maluku akan terungkap. Ya, setidaknya bila pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kelak dipimpin oleh orang-orang yang jujur, menegakkan shalat, ber-akhlaqul karimah, pikirannya sehat dan tidak terkooptasi oleh musuh-musuh Islam.

Achmad Setiyaji adalah wartawan HU “Pikiran Rakyat”, pernah melakukan kunjungan jurnalistik ke kawasan Ambon dan Maluku Utara (medio 1999-awal 2000). Tulisan ini sebagai suplemen wacana umat atas makalahnya berjudul “Ribuan Umat Islam Indonesia Menjadi Korbannya: Tangan-tangan Yahudi di Ambon dan Maluku”, yang disampaikan dalam forum “2nd International Muslim Lawyers Conference” di Postdam, Jerman (3-6 Maret 2000) dan di beberapa tempat lainnya di Jerman serta Malaysia (HU “PR”, 18/3 ’2000).
Sumber : https://gogoleak.wordpress.com/category/loker-info-sejarah/

YOU MIGHT ALSO LIKE

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan berkomentar sob demi kemajuan Blog ini, Terima Kasih!!!

Advertisements

YOUR GOOGLE ADSENSE CODE HERE (300x250)

Advertisements

YOUR GOOGLE ADSENSE CODE HERE (300x250)